Monday, 11 December 2017

Impianku Karya Etik Nurhalimah



Impianku
Karya : Etik Nurhalimah


Tak banyak yang ku pinta Tuhan
Hanya seolah senyum di masa depan
Saat toga disematkan
Ijazah tabung aku genggam
Kebahagiaan Bapak dan Emak pun mengembang
Biarkan jemari melukis indahnya mimpi
Sebagai bhakti kepada orangtua dan bumi pertiwi


Menjadi seorang buruh migran Indonesia, tak lantas membuat Aminah patah semangat. Gadis yang berasal dari desa kecil yang mengajarinya arti kehidupan ini tak pernah berhenti menggapai mimpi. Meskipun diusianya yang hampir kepala tiga, tak pernah mematahkan semangatnya untuk terus belajar. Meskipun entah berapa kali takdir yang berkumandang Aminah lewati diperantauan.


Ini adalah keberangkatannya yang ketiga, dan Taiwan adalah destinasinya. Disana, Ia merawat seorang Nenek yang berumur 96 tahun. Tak hanya merawat, tugas Aminah pun serabutan. Dari mulai ke pasar, membereskan rumah, dan memasak untuk Majikan.


“Paman, kangkung ini satu ikat harganya berapa?” tanya Aminah suatu saat, saat Ia berbelanja.
25 dolar saja Nona. Kalau kau beli murah, pasti ku beli murah. Aku membeli 2 saja, seraya memberikan uang satu keping 50 NT dolar kepada si penjual, tak lupa Aminahpun mengucapkan terimakasih.



Ransel hitam yang iya bawa, telah sesak terjejal beberapa ikat sayuran, buah dan juga ikan. Bergegas gadis itu melangkahkan kaki untuk pulang ke pasar karena jika terlalu lama Nenek akan memarahinya. Nenek tak pernah suka jika Aminah bercakap-cakap dengan sesama pekerja dari Indonesia.


“Nek...., saya pulang....” sapa Aminah pada wanita tua yang tengah duduk di atas sofa.
“Kamu belanja apa saja, Ami?” tanya Nenek.
Hari ini aku membeli kangkung, Nek. Ikan dan buah.
“Setiap hari kau beri makan aku kangkung,” kata Nenek.
Loh..., kemarin kan kita makan Brokoli, Nek. Kebetulan hari ini kangkung yang segar. Sehingga aku membelinya.


Jam makan siang pun tiba. Dengan lahap, sang Nenek beserta Putera menikmati hidangan yang Ami suguhkan. Sementara Majikan makan, gadis tersebut sibuk mempersiapkan Jus, buah, dan sayur yang berserakan di dalam dapur. Meskipun telah 6 tahun Ia mengabdi pada keluarga tersebut, tak sekali pun Aminah makan bersama mereka. Selalu menunggu hingga selesai. Hasilnya? Hanya ikan yang tinggal kepala. Sup kuah dan sisa sayur yang dapat ia menikmati. Sedihkah? Tidak. Ami gadis yang tegar dan tak mudah mengeluh. Sebotol sambal terasi ia santap lahap bersama nasi putih di dalam mangkuk. Baginya, masih memiliki uang gaji untuk membeli makanan sendiri.


“Ndo, hidup itu keras. Bahkan, ia tak pernah memberikan gratisan pada sebuah kebahagiaan,” pesan sang Emak yang selalu Ami ingat.


Guncingan dan caci maki tetangga adalah cambuk untuk terus melucut Ami menapaki masa depan. Masih teringat dengan jelas. Bagaimana seluruh keluarga dan saudara mencibir. Bahkan tak pernah meminjamkan uang kepadanya untuk membeli beras. Saat itu, Emak baru melahirkan adik yang bungsu. Sedangkan Bapak belum pulang dari buruh panjat kelapa. Ami dan Adik belum makan seharian. Mereka kelaparan.


“Makanya, kalau nda punya uang jangan terus beranak. Sudah tau nda punya makan, anak yang dibanyakin,” kutuk Bude Yanti yang berprofesi sebagai pedagang sayur keliling.
10 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Ami hidup diperantauan. Mulai dari Singapur, Hongkong dan Taiwan. Tapi kali ini, gadis itu pun berkuliah pada sebuah Universitas Terbuka Taiwan, yang dia lakukan untuk meraih mimpinya yang tertunda. Pertentangan pun Ami hadapi, saat ia berusaha meminta izin kepada Majikan.


“Siapa kamu. Adikku bukan. Keluargaku bukan. Enak saja mau kuliah. Kamu di sini saya bayar untuk bekerja, merawat kelurgaku. Jadi, bekerja dengan baik-baik,” amarah Tuan meledak-ledak.


Sepulang dari kuliah. Ami pun menyempatkan pergi belanja ke toko Indo untuk membeli makanan yang akan ia santap di rumah. Tapi, betapa ia terkejut karena tahu siapa yang membuka ketika ia datang.


“Cece, apa kabar?” sapa Ami pada anak bungsu Nenek.
Baik Ami. Bagaimana liburmu? Mengasikankah?


Belum sempat Ami menjawab pertanyaan tersebut. Karena dibenaknya diliputi rasa takut.


“Benarkah ia akan dipulangkan ke Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ujiannya? Kuliahnya? Pengumumannya? Dan, semua cita-cita yang selama ini ia gadang-gadang. Oh... Tuhan. Cobaan apa lagi yang akan kau berikan pada ku” batinnya lirih.


Akhir bulan itu, jatuh. Buliran tangis yang selama ini Ami balut dengan ketegaran. Ternyata tumbang. Dengan langkah gontai. Ami menuju kamar Nenek.




Wanita renta yang tengah tergolek di tempat tidur. Matanya yang sayu. Mengingatkan Ami pada sosok Emak. Wanita yang telah lama ia tinggalkan dan sangat ia rindukan. Wanita yang berpura-pura kenyang dan memberikan jatah makanan kepada anak-anaknya agar tidak kelaparan. Wanita yang rela menunggunya di saat sakit. Wanita yang selalu mendo’akannya dengan penuh keikhlasan untuk meraih kesuksesan.


Emak..., tunggulah aku kembali. Kan ku buat senyummu indah berseri laksana sekuntum bunga melati.


*************************************************

Facebook Etik Nurhalimah

No comments:

Post a Comment