Impianku
Karya
: Etik Nurhalimah
Tak banyak yang ku
pinta Tuhan
Hanya seolah senyum di
masa depan
Saat toga disematkan
Ijazah tabung aku
genggam
Kebahagiaan Bapak dan
Emak pun mengembang
Biarkan jemari melukis
indahnya mimpi
Sebagai bhakti kepada orangtua
dan bumi pertiwi
Menjadi seorang buruh
migran Indonesia, tak lantas membuat Aminah patah semangat. Gadis yang berasal
dari desa kecil yang mengajarinya arti kehidupan ini tak pernah berhenti
menggapai mimpi. Meskipun diusianya yang hampir kepala tiga, tak pernah
mematahkan semangatnya untuk terus belajar. Meskipun entah berapa kali takdir
yang berkumandang Aminah lewati diperantauan.
Ini adalah
keberangkatannya yang ketiga, dan Taiwan adalah destinasinya. Disana, Ia
merawat seorang Nenek yang berumur 96 tahun. Tak hanya merawat, tugas Aminah
pun serabutan. Dari mulai ke pasar, membereskan rumah, dan memasak untuk
Majikan.
“Paman, kangkung ini
satu ikat harganya berapa?” tanya Aminah suatu saat, saat Ia berbelanja.
25 dolar saja Nona.
Kalau kau beli murah, pasti ku beli murah. Aku membeli 2 saja, seraya
memberikan uang satu keping 50 NT dolar kepada si penjual, tak lupa Aminahpun
mengucapkan terimakasih.
Ransel hitam yang iya
bawa, telah sesak terjejal beberapa ikat sayuran, buah dan juga ikan. Bergegas
gadis itu melangkahkan kaki untuk pulang ke pasar karena jika terlalu lama
Nenek akan memarahinya. Nenek tak pernah suka jika Aminah bercakap-cakap dengan
sesama pekerja dari Indonesia.
“Nek...., saya
pulang....” sapa Aminah pada wanita tua yang tengah duduk di atas sofa.
“Kamu belanja apa saja,
Ami?” tanya Nenek.
Hari ini aku membeli
kangkung, Nek. Ikan dan buah.
“Setiap hari kau beri
makan aku kangkung,” kata Nenek.
Loh..., kemarin kan
kita makan Brokoli, Nek. Kebetulan hari ini kangkung yang segar. Sehingga aku
membelinya.
Jam makan siang pun
tiba. Dengan lahap, sang Nenek beserta Putera menikmati hidangan yang Ami
suguhkan. Sementara Majikan makan, gadis tersebut sibuk mempersiapkan Jus,
buah, dan sayur yang berserakan di dalam dapur. Meskipun telah 6 tahun Ia
mengabdi pada keluarga tersebut, tak sekali pun Aminah makan bersama mereka.
Selalu menunggu hingga selesai. Hasilnya? Hanya ikan yang tinggal kepala. Sup
kuah dan sisa sayur yang dapat ia menikmati. Sedihkah? Tidak. Ami gadis yang
tegar dan tak mudah mengeluh. Sebotol sambal terasi ia santap lahap bersama
nasi putih di dalam mangkuk. Baginya, masih memiliki uang gaji untuk membeli
makanan sendiri.
“Ndo, hidup itu keras.
Bahkan, ia tak pernah memberikan gratisan pada sebuah kebahagiaan,” pesan sang
Emak yang selalu Ami ingat.
Guncingan dan caci maki
tetangga adalah cambuk untuk terus melucut Ami menapaki masa depan. Masih
teringat dengan jelas. Bagaimana seluruh keluarga dan saudara mencibir. Bahkan
tak pernah meminjamkan uang kepadanya untuk membeli beras. Saat itu, Emak baru
melahirkan adik yang bungsu. Sedangkan Bapak belum pulang dari buruh panjat
kelapa. Ami dan Adik belum makan seharian. Mereka kelaparan.
“Makanya, kalau nda
punya uang jangan terus beranak. Sudah tau nda punya makan, anak yang
dibanyakin,” kutuk Bude Yanti yang berprofesi sebagai pedagang sayur keliling.
10 tahun bukanlah waktu
yang singkat untuk Ami hidup diperantauan. Mulai dari Singapur, Hongkong dan
Taiwan. Tapi kali ini, gadis itu pun berkuliah pada sebuah Universitas Terbuka
Taiwan, yang dia lakukan untuk meraih mimpinya yang tertunda. Pertentangan pun
Ami hadapi, saat ia berusaha meminta izin kepada Majikan.
“Siapa kamu. Adikku
bukan. Keluargaku bukan. Enak saja mau kuliah. Kamu di sini saya bayar untuk
bekerja, merawat kelurgaku. Jadi, bekerja dengan baik-baik,” amarah Tuan
meledak-ledak.
Sepulang dari kuliah.
Ami pun menyempatkan pergi belanja ke toko Indo untuk membeli makanan yang akan
ia santap di rumah. Tapi, betapa ia terkejut karena tahu siapa yang membuka
ketika ia datang.
“Cece, apa kabar?” sapa
Ami pada anak bungsu Nenek.
Baik Ami. Bagaimana
liburmu? Mengasikankah?
Belum sempat Ami
menjawab pertanyaan tersebut. Karena dibenaknya diliputi rasa takut.
“Benarkah ia akan dipulangkan
ke Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ujiannya? Kuliahnya? Pengumumannya? Dan,
semua cita-cita yang selama ini ia gadang-gadang. Oh... Tuhan. Cobaan apa lagi
yang akan kau berikan pada ku” batinnya lirih.
Akhir bulan itu, jatuh.
Buliran tangis yang selama ini Ami balut dengan ketegaran. Ternyata tumbang.
Dengan langkah gontai. Ami menuju kamar Nenek.
Wanita renta yang
tengah tergolek di tempat tidur. Matanya yang sayu. Mengingatkan Ami pada sosok
Emak. Wanita yang telah lama ia tinggalkan dan sangat ia rindukan. Wanita yang
berpura-pura kenyang dan memberikan jatah makanan kepada anak-anaknya agar
tidak kelaparan. Wanita yang rela menunggunya di saat sakit. Wanita yang selalu
mendo’akannya dengan penuh keikhlasan untuk meraih kesuksesan.
Emak..., tunggulah aku
kembali. Kan ku buat senyummu indah berseri laksana sekuntum bunga melati.
*************************************************
Facebook Etik Nurhalimah
No comments:
Post a Comment